THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 16 Desember 2009

Gadis Kecil Yang Sholihah


Aku akan meriwayatkan kepada anda kisah yang sangat berkesan ini, seakan-akan anda mendengarnya langsung dari lisan ibunya. Berkatalah ibu gadis kecil tersebut:

Saat aku mengandung putriku, Afnan, ayahku melihat sebuah mimpi di dalam tidurnya. Ia melihat banyak buruk pipit yang terbang di angkasa. Di antara burung-burung tersebut terdapat seekor merpati putih yang sangat cantik, terbang jauh meninggi ke langit. Maka aku bertanya kepada ayah tentang tafsir dari mimpi tersebut. Maka ia mengabarkan kepadaku bahwa burung-burung pipit tersebut adalah anak-anakku, dan sesungguhnya aku akan melahirkan seorang gadis yang bertakwa. Ia tidak menyempurnakan tafsirnya, sementara akupun tidak meminta tafsir tentang takwil mimpi tersebut.

Setelah itu aku melahirkan putriku, Afnan. Ternyata dia benar-benar seorang gadis yang bertakwa. Aku melihatnya sebagai seorang wanita yang shalihah sejak kecil. Dia tidak pernah mau mengenakan celana, tidak juga mengenakan pakaian pendek, dia akan menolak dengan keras, padahal dia masih kecil. Jika aku mengenakan rok pendek padanya, maka ia mengenakan celana panjang di balik rok tersebut.

Afnan senantiasa menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Setelah dia menduduki kelas 4 SD, dia semakin menjauh dari segenap perkara yang membuat murka Allah. Dia menolak pergi ke tempat-tempat permainan, atau ke pesta-pesta walimah. Dia adalah seorang gadis yang berpegang teguh dengan agamanya, sangat cemburu di atasnya, menjaga shalat-shalatnya, dan sunnah-sunnahnya. Tatkala dia sampai SMP mulailah dia berdakwah kepada agama Allah. Dia tidak pernah melihat sebuah kemungkaran kecuali dia mengingkarinya, dan memerintah kepada yang ma'ruf dan senantiasa menjaga hijabnya.
Permulaan dakwahnya kepada agama Allah adalah permulaan masuk Islamnya pembantu kami yang berkebangsaan Srilangka.

Ibu Afnan melanjutkan ceritanya:
Tatkala aku mengandung putraku, Abdullah, aku terpaksa mempekerjakan seorang pembantu untuk merawatnya saat kepergianku, karena aku adalah seorang karyawan. Ia beragama Nashrani. Setelah Afnan mengetahui bahwa pembantu tersebut tidak muslimah, dia marah dan mendatangiku seraya berkata: "Wahai ummi, bagaimana dia akan menyentuh pakaian-pakaian kita, mencuci piring-piring kita, dan merawat adikku, sementara dia adalah wanita kafir?! Aku siap meninggalkan sekolah, dan melayani kalian selama 24 jam, dan jangan menjadikan wanita kafir sebagai pembantu kita!!"

Aku tidak memperdulikannya, karena memang kebutuhanku terhadap pembantu tersebut amat mendesak. Hanya dua bulan setelah itu, pembantu tersebut mendatangiku dengan penuh kegembiraan seraya berkata: "Mama aku sekarang menjadi seorang muslimah, karena jasa Afnan yang terus mendakwahiku. Dia telah mengajarkan kepadaku tentang Islam." Maka akupun sangat bergembira mendengar kabar baik ini.

Saat Afnan duduk di kelas 3 SMP, pamannya memintanya hadir dalam pesta pernikahannya. Dia memaksa Afnan untuk hadir, jika tidak maka dia tidak akan ridha kepadanya sepanjang hidupnya. Akhirnya Afnan menyetujui permintaannya setelah ia mendesak dengan sangat, dan juga karena Afnan sangat mencintai pamannya tersebut.

Afnan bersiap untuk mendatangi pernikahan itu. Dia mengenakan sebuah gaun yang menutupi seluruh tubuhnya. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Setiap orang yang melihatnya akan terkagum-kagum dengan kecantikannya. Semua orang kagum dan bertanya-tanya, siapa gadis ini? Mengapa engkau menyembunyikannya dari kami selama ini?

Setelah menghadiri pernikahan pamannya, Afnan terserang kanker tanpa kami ketahui. Dia merasakan sakit yang teramat sakit pada kakinya. Dia menyembunyikan rasa sakit tersebut dan berkata: "Sakit ringan di kakiku." Sebulan setelah itu dia menjadi pincang, saat kami bertanya kepadanya, dia menjawab: "Sakit ringan, akan segera hilang insya Allah." Setelah itu dia tidak mampu lagi berjalan. Kamipun membawanya ke rumah sakit.

Selesailah pemeriksaan dan diagnosa yang sudah semestinya. Di dalam salah satu ruangan di rumah sakit tersebut, sang dokter berkebangsaan Turki mengumpulkanku, ayahnya, dan pamannya. Hadir pula pada saat itu seorang penerjemah, dan seorang perawat yang bukan muslim. Sementara Afnan berbaring di atas ranjang.

Dokter mengabarkan kepada kami bahwa Afnan terserang kanker di kakinya, dan dia akan memberikan 3 suntikan kimiawi yang akan merontokkan seluruh rambut dan alisnya. Akupun terkejut dengan kabar ini. Kami duduk menangis. Adapun Afnan, saat dia mengetahui kabar tersebut dia sangat bergembira dan berkata "Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah." Akupun mendekatkan dia di dadaku sementara aku dalam keadaan menangis. Dia berkata: "Wahai ummi, alhamdulillah, musibah ini hanya menimpaku, bukan menimpa agamaku."

Diapun bertahmid memuji Allah dengan suara keras, sementara semua orang melihat kepadanya dengan tercengang!!

Aku merasa diriku kecil, sementara aku melihat gadis kecilku ini dengan kekuatan imannya dan aku dengan kelemahan imanku. Setiap orang yang bersama kami sangat terkesan dengan kejadian ini dan kekuatan imannya. Adapun penerjemah dan para perawat, merekapun menyatakan keislamannya!!

Berikutnya adalah perjalanan dia untuk berobat dan berdakwah kepada Allah.

Sebelum Afnan memulai pengobatan dengan bahan-bahan kimia, pamannya meminta akan menghadirkan gunting untuk memotong rambutnya sebelum rontok karena pengobatan. Diapun menolak dengan keras. Aku mencoba untuk memberinya pengertian agar memenuhi keinginan pamannya, akan tetapi dia menolak dan bersikukuh seraya berkata: "Aku tidak ingin terhalangi dari pahala bergugurannya setiap helai rambut dari kepalaku."

Kami (aku, suami dan Afnan) pergi untuk pertama kalinya ke Amerika dengan pesawat terbang. Saat kami sampai di sana, kami disambut oleh seorang dokter wanita Amerika yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi selama 15 tahun. Dia bisa berbicara bahasa Arab. Saat Afnan melihatnya, dia bertanya kepadanya: "Apakah engkau seorang muslimah?" Dia menjawab: "Tidak."

Afnanpun meminta kepadanya untuk mau pergi bersamanya menuju ke sebuah kamar kosong. Dokter wanita itupun membawanya ke salah satu ruangan. Setelah itu dokter wanita itu kemudian mendatangiku sementara kedua matanya telah terpenuhi linangan air mata. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya sejak 15 tahun dia di Saudi, tidak pernah seorangpun mengajaknya kepada Islam. dan di sini datang seorang gadis kecil yang mendakwahinya. Akhirnya dia masuk Islam melalui tangannya.

Di Amerika, mereka mengabarkan bahwa tidak ada obat baginya kecuali mengamputasi kakinya,karena dikhawatirkan kanker tersebut akan menyebar sampai ke paru-paru dan akan memarikannya akan tetapi Afnan sama sekali tidak takut terhadap amputasi, yang dia khawatirkan adalah perasaan kedua orangtuanya.

PAda suatu hari Afnan berbicara dengan salah satu temanku melalui Messenger. Afnan bertanya kepadanya: "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah aku akan menyetujui mereka untuk mengamputasi kakiku?" Maka dia mencoba untuk menenangkannya, dan bahwa mungkin kaki palsu sebagai gantinya. Maka Afnan menjawab dengan satu kalimat: "Aku tidak memperdulikan kakiku, yang aku inginkan adalah mereka meletakkanku di dalam kuburku sementara aku dalam keadaan sempurna. " Temanku tersebut berkata: "Sesungguhnya setelah jawaban Afnan, aku merasa kecil di hadapan Afnan, Aku tidak memahami sesuatupun, seluruh pikiranku saat itu tertuju kepada bagaimana dia nanti akan hidup, sedangkan fikirannya lebih tinggi dari itu, yaitu bagaimana nanti dia akan mati."

Kamipun kembali ke Saudi setelah kami amputasi kaki Afnan, dan tiba-tiba kanker telah menyerang paru-paru!!

Keadaannya sungguh membuat putus asa, karena mereka meletakkannya di atas ranjang, dan disisinya terdapat sebuah tombol. Hanya dengan menekan tombol tersebut maka dia akan tersuntik dengan jarum bius dan jarum infus.

Di rumah sakit tidak terdengar suara adzan dan keadaannya seperti orang yang koma. Tetapi hanya dengan masuknya waktu shalat dia terbangun dari komanya, kemudian meminta air, kemudian wudhu dan shalat, tanpa ada seorangpun yang membangunkannya!!

Di hari-hari terakhir Afnan, para dokter mangabari kami bahwa tidak ada gunanya lagi ia di rumah sakit. Sehari atau dua hari lagi dia akan meninggal. Aku ingin dia menghabiskan hari-hari terakhirnya di rumah ibuku.

Di rumah, dia tidur di sebuah kamar kecil. Aku duduk di sisinya dan berbicara dengannya.

Pada suatu hari, istri pamannya datang menjenguk. Aku katakan bahwa dia berada di dalam kamar sedang tidur. Ketika dia masuk ke dalam kamar, dia terkejut kemudian menutup pintu. Akupun terkejut dan khawatir terjadi sesuatu pada Afnan. Maka aku bertanya kepadanya, tetapi dia tidak menjawab. Maka aku tidak mampu lagi menguasai diri, akupun pergi kepadanya. Saat aku membuka kamar, apa yang kulihat membuatku tercengang. Saat itu lampu dalam keadaan dimatikan, sementara wajah Afnan memancarkan cahaya di tengah kegelapan malam. Dia melihat kepadaku kemudian tersenyum.
Dia berkata: "Ummi kemarilah, aku mau menceritakan sebuah mimpi yang telah kulihat."
Kukatakan: "(Mimpi) yang baik Insya Allah. "
Dia berkata: "Aku melihat diriku sebagai pengantin di hari pernikahanku, aku mengenakan gaun berwarna putih yang lebar. Engkau dan keluargaku, kalian semua berada disekelilingku. Semuanya berbahagia dengan pernikahanku, kecuali engkau ummi."
Akupun bertanya kepadanya: "Bagaimana menurutmu tentang tafsir mimpimu tersebut."
Dia menjawab: "Aku menyangka, bahwasanya aku akan meninggal, dan mereka semua akan melupakanku, dan hidup dalam kehidupan mereka dalam keadaan berbahagia kecuali engkau ummi. Engkau terus mengingatku, dan bersedih atas perpisahanku."

Benarlah apa yang dikatakan Afnan. Aku sekarang ini, saat aku menceritakan kisah ini, aku menahan sesuatu yang membakar dari dalam diriku, setiap kali aku mengingatnya, akupun bersedih atasnya.

Pada suatu hari, aku duduk dekat dengan Afnan, aku dan ibuku. Saat itu Afnan berbaring diatas ranjangnya kemudian dia terbangun. Dia berkata: "Ummi, mendekatlah kepadaku, aku ingin menciummu." Maka diapun menciumku. Kemudian dia berkata: "Aku ingin mencium pipimu yang kedua ." Akupun mendekat kepadanya, dan dia menciumku, kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Ibuku berkata kepadanya: "Afnan, ucapkanlah la ilaaha illallah."

Kemudian dia menghadapkan wajah ke arah qiblat dan berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallaah." Dia mengucapkannya sebanyak 10 kali. Kemudian dia berkata: "Asyhadu allaa ilaaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah." Dan kelurlah rohnya.

Maka kamar tempat dia meninggal di dalamnya dipenuhi oleh aroma minyak kesturi selama 4 hari. Aku tidak mampu untuk tabah, kelurgaku takut akan terjadi sesuatu terhadap diriku. Maka merekapun meminyaki kamar tersebut dengan aroma lain sehingga aku tidak bisa lagi mencium aroma Afnan. Dan tidak ada yang aku katakan kecuali alhamdulillah rabbil 'aalamin.

Kamis, 10 Desember 2009

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN



Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar Dibandingkan Dosa Berzina

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.


Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.

Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar lainnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)

Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias bukan muslim?

Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?

Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9]: 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)

Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.

Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa meninggalkan shalat adalah kafir

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu ‘Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)

Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, “Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

Penutup

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).”

Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.” (Lihat Ash Sholah, 35-36)

Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Jumat, 04 Desember 2009

Akibat Bericara Dan Beramal Tanpa Ilmu

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Dan janganlah engkau ikuti apa yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang-nya, sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati semuanya itu akan di tanya" (QS Al-Isra': 36).

Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Barang siapa berbicara tentang al Qur'an dengan akal nya atau tidak dengan ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka" (Hadist seperti ini ada dari 2 jalan, yaitu Ibnu Abas dan Jundub. Lihat Tafsir Qur'an yang diberi mukaddimah oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth hal. 6, Tafsir Ibnu Katsir dalam Mukaddimah hal. 13, Jami' As-Shahih Sunan Tirmidzi jilid 5 hal.183 no. 2950 dan Tuhfatul Ahwadzi jilid 8 hal. 277).

"Barang siapa mengamalkan sesuatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak." (Shahih Muslim, Syarah Arba'in An-Nawawi hal. 21 Pembatalan Kemung-karan dan Bid'ah).

Dari salamah bin Akwa berkata , Aku telah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka." (HR Al-Bukhari I/35 dan lainya).

"Cukup bohong seseorang manakala dia membicarakan setiap apa yang dia dengar." (HR. Muslim dalam muqaddimah shahihnya).

Nasihat Salafus Shalih

• Abu Darda berkata: "Kamu tidak akan menjadi orang yang bertaqwa sehingga kamu berilmu, dan kamu tidak menjadi orang yang berilmu secara baik sehingga kamu mau beramal." (Adab dalam majelis-Muhammad Abdullah Al-Khatib).

Beliau juga berkata : "Orang-orang yang menganggap pergi dan pulang menuntut ilmu bukan termasuk jihad, berarti akal dan pikiranya telah berkurang."

• Imam Hasan Al Basri mengatakan: Tafsir Surat-Baqarah ayat 201; Ya Tuhan, berikanlah kami kebaikan di dunia(ilmu dan ibadah) dan kebaikan di akhirat (Surga).

• Imam Syafi'i berkata: "Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hen-daklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan duanya maka hendaklah dengan ilmu." (Al-Majmu', Imam An-Nawawi).

• Imam Malik berkata: "Ilmu itu tidak diambil dari empat golongan, tetapi diambil dari selainya. Tidak diambil dari orang bodoh, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, yang mengajak berbuat bid'ah dan pendusta sekalipun tidak sampai tertuduh mendustakan hadist-hadist Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak diambil dari orang yang dihormati, orang saleh, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memahami permasalahanya. Imam Muhammad Ibnu Sirin berkata: Sesungguhnya ilmu itu dien, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil dienmu.

Para ulama salaf memahami betul bahwa sebab-sebab terjadinya penyimpangan dikalangan orang-orang yang sesat pada asalnya karena kekeliruan tashawur (pandangan /wawasan) mereka tentang batasan ilmu (Lihat Al-Ilmu Ushulu wa Mashadiruhu wa Manahijuhu Muhammad bin Abdullah Al-Khur'an, cet. I 1412 H, Dar Al-Wathan lin Nasyr, Riyadh, hal. 7).

Orang-Orang salaf berkata :
"Waspadalah terhadap cobaan orang berilmu yang buruk (ibadahnya) dan ahli ibadah yang bodoh." (Al-wala'wal bara' hal. 230)

• Imam Asy-Syafi'i memberi nasihat kepada murid-muridnya:
Siapa yang mengambil fiqih dari kitab saja, maka ia menghilangkan banyak hukum. (Tadzkiratus sami' wal mutakallim, Al-Kannani, hal.87, Efisiensi Waktu Konsep Islam. Jasmin M. Badr Al-Muthawi, hal 44).

• Abdullah bin Al-Mu'tamir berkata: "Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain." (riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya I/153)

• Riwayat Ibnu Wahab yang diterima dari Sofyan mengatakan: "Tidak akan tegak ilmu itu kecuali dengan perbuatan, juga ilmu dan perbuatan tidak akan ada artinya kecuali dengan niat yang baik. Juga ilmu, perbuatan dan niat yang baik tidak akan ada artinya kecuali bila sesuai dengan sunnah-sunnah." (Syeikh Abu Ishaq As -Syatibi, Menuju jalan Lurus).

• Ibrahim Al-Hamadhi berkta: Tidaklah dikatakan seorang itu berilmu, sekalipun orang itu banyak ilmunya. Adapun yang dikatakan Allah ortang itu berilmu adalah orang-orang yang mengikuti ilmu dan mengamalkanya, dan menetap dalam perkara As-Sunah, sekalipun jumlah ilmu-ilmu dari orang-orang tersebut hanya sedikit (Syeikh Abu Ishaq As –Syatibi, Menuju jalan Lurus).

Keutamaan pencari ilmu dan yang mengatakan seseorang itu ahli ilmu

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang mencari satu jalan menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Allah SWT berfirman: "Tidak sepatutunya bagi orang-orang mukmin itu pergi semaunya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memeperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali." (At-Taubah: 122)

Imam Muslim mengatakan kepada Imam Bukhari: "Demi Allah tidak ada di dunia ini yang lebih pandai tentang ilmu hadist dari engkau." (Tarikh Bukhari, dalam Mukadimah Fathul Bari)

Imam Syafi'i berkomentar tentang Imam Ahmad: "Saya pergi dari kota Baghdad dan tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling alim dalam bidang fiqih, yang paling wara' dalam agamanya dan paling berilmu selain Imam Ahmad." (Thobaqatus Syafi'I, As-Subki / Efisiensi Waktu Konsep Islam, Jasim m. Badr Al-Muthawi, hal.91)

Orang yang menuntut ilmu bukan kepada ahlinya [b/]

Dari Abdullah bin Ash ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu di kalangan umat manu-sia setelah dianugerahkan kepada mereka, tetapi Allah mencabut ilmu tersebut di kalangan umat manusia dengan dimatikannya para ulama, sehingga ketika tidak tersisa orang alimpun, maka manusia menjadikan orang-orang bodoh menjadi pimpinan. Mereka dimintai fatwanya, lau orang-orang bodoh tersebut berfatwa tanpa ilmu." Dalam riwayat lain: "dengan ra'yu/akal. Maka sungguh perbuatan tersebut adalah sesat dan menyesatkan." (HR. Al-Bukhari I/34).

"Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saatnya (kebinasaannya)." (Shahih Bukhari bab Ilmu).
"Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang rendahan." (lihatkitab Silsilah Hadist Shahih no. 695).

"Ya Allah aku mohon perlindung-anMu agar aku dijauhkan dari lmu yang tidak berguna (ilmu yang tidak aku amalkan, tidak aku ajarkan dan tidak pula merubah akhlakku), dan dari hati yang tidak khusyu', dari nafsu yang tidak pernah puas dan doa yang tidak terkabulkan." ( HR. Ahmad, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)

"Ya Allah berikanlah kepadaku manfaat dari ilmu yang Engkau anugerahklan kepadaku , dan berilah aku ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah kepadaku ilmu" (Jami' Ash-Shahih, Imam Tirmidzi no. 3599 Juz V hal. 54)

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang bermanfaat dan amal yang diterima" (Hisnul Muslim, hal. 44 no. 73).

"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedangkan kamu mengetahuinya." (Al-Baqarah: 42).

"Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (Al-Baqarah: 208).

Mimpi Terlarang

Berikut ini cerita tentang seorang anak petani miskin di sebuah sekolah dasar di australia di sebuah wilayah pedesaan yang cukup terpencil.

Beberapa puluh tahun yang lalu, disuatu hari saat anak ini sekolah, sang guru seni menyuruh anak didiknya untuk menggambar rumah impiannya, sangat tidak disangka anak petani miskin ini menggambar rumah yang sangat besar dan mewah. Dengan keyakinan tinggi si anak merasa bahwa gambarnya bagus dan layak mendapatkan nilai A, namun apa yang terjadi ? sang guru memberikan nilai F untuk gambarnya tersebut.

Anak tersebut memprotes sang guru, “Kenapa engkau memberikan aku nilai F padahal rumah yang ku gambar sangat bagus ?”

Sang guru menjawab, “Engkau terlalu menghayal! bagaimana mungkin engkau seorang anak petani miskin di desa kecil ini dapat memiliki rumah besar dan mewah seperti itu? sangat tidak masuk akal!!”

Rupanya anak kecil tersebut benar-benar kecewa dengan penilaian gurunya tersebut, namun dia tidak putus asa, kejadian ini membuat dia benar-benar berjuang keras untuk mewujudkan mimpinya.

Di akhir cerita, terbuktilah bahwa anak petani di desa terpencil tersebut berhasil mewujudkan mimpinya, ia sekarang sudah menjadi pengusaha sukses dan berhasil membangung sebuah rumah besar dan mewah seperti yang dahulu diimpikannya.

Saat rumah tersebut selesai dibuat, ia mengundang teman-teman dan warga di sekitar rumahnya, termasuk gurunya yang dahulu memberikan nilai F untuk mimpi besarnya.

Sang guru hanya bisa terdiam dan tercengang saat melihat sebuah gambar yang sudah lusuh dalam sebuah pigura yang indah, sebuah gambar rumah besar dan mewah dengan nilai F, tulisan tangan sang guru.

Pelajaran berharga yang bisa diambil dari kisah ini, jangan pernah berkecil hati jika orang-orang menertawakan mimpi-mipi Anda, jangan takut mengejar mimpi meskipun Anda dianggap sebagai orang gila. Jangan khawatir, hampir sebagian besar pengusaha sukses dan orang-orang hebat di dunia ini pernah dianggap gila oleh banyak orang. [Pengusaha Muslim]

Kamis, 26 November 2009

"ISLAM" hakikat Iman & Cinta


KETIKA ada seorang pemeluk agama bertanya tentntaang hakikiat agamanya. Jawaban bijak yang mungkin paling sederhana adalah iman dan cinta. Begitu juga, apabila yang bertanya itu kebetulan seorang muslim, dengan bertanya; apakah hakikat Islam itu sesungguhnya,? Maka, jawaban paling bijaknya pun tetap sama, yaitu iman dan cinta. Ini persis dalam semboyan yang diulang-ulang, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil-alamin.

Lalu, apa artinya jawaban panjang lebar dan berbelit-belit tentang akidah (teologi), jurisprudensi Islam (fiqh) dan turats (tradisi), serta hal-hal lain yang terkait dengan Islam? Menurut saya, semua itu adalah instrumen formal yang serta-merta akan menyetai pola keimanan dan rasa cinta para pemeluknya. Segudang teori agama, beragam keping buda ya dan setumpuk peradaban Islam, tidak lain hanyalah bentuk nyata (implementasi) dari kesatuan iman dan cinta tersebut.

Artinya, apapun yang telah dan akan diaktualisasikan oleh pemeluk Islam dalam bentuk kongkret, bisa dipahami sebagai ungkapan logis dari keimanan dan rasa cinta mereka. Boleh-boleh saja mereka mengungkapkan rasa cinta dan keimanannya itu dalam bentuk disiplin-disiplin fisik (ritual-ritual), dengan membangun komunitas-komunitas budaya, tradisi pemikiran, atau mendirikan sebuah peradaban yang tinggi dan hebat sekaligus. Bahkan, tidak ada larangan apapun yang mengharuskan mereka agar membatasi konstruksi pemahamannya dalam realitas iman dan cinta.

Lalu, mengapa terjadinya konflik-konflik internal antar golongan beragama, ataupun perang hebat antar pemeluk agama? Dalam konteks keberagamaan, bisa kita pahami sebagai bentuk klimaks dari perebutan simbol saja. Karena, boleh disepakati atau tidak, realitas simbol merupakan bagian kuat dari watak dasariyah manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa “manusia itu adalah makhluk yang simbolik” (animal symbolicum).

Dengan simbol manusia mampu membentuk budayanya, mengungkapkan rasa melalui bentuk-bentuk. Ungkapan simbolis merupakan jalan menuju kebebasan yang berdaya cipta, dan “hidup yang menggunakan lambang-lambang berarti kebebasan sejati”. Demikian menurut Thomas Mann.

Dengan begitu, maka eksistensi nama-nama dari seluruh agama, sama artinya dengan simbol-simbol yang berdaya cipta tinggi. Ada yang namaya agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan seterusnya. Namun, kalau dari serentetan nama-nama itu, dalam konteks simbol kemudian muncul banyak dikotomi eksistensialis dalam kehidupan para pemeluknya, tentu merupakan hal yang wajar, sesuai dengan watak dasar manusianya yang bersifat simbolik. Bukan karena sifat agamanya.

Tapi, kenapa konflik antarummat beragama masih sering terjadi, apakah karena para pemeluk agama-agama itu tidak mengerti dengan realitas simbol? Jawabannya bisa saja, karena ada beragam citra atau kepentingan-kepentingan terselubung yang digantungkan di balik simbol-simbol itu, sehingga menyebabkan ia terseret kedalam serentetan tindak kekerasan dan penjajahan. Namun, kecenderungan semacam ini tidak akan berlaku di wilayah keimanan, cinta dan pemahaman para pemeluk agama.

Selanjutnya, terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai itu, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama.

Menurutnya, dalam struktur iman itu, antusiasme, cinta dan persaksian tumbuh saling berjalin. Setiap orang berhak untuk memuja, mencinta dan bersaksi dalam kesendiriannya. Dengan begitu, iman sangatlah bermusuhan dengan yang namanya kemusyrikan. Baginya, tidak ada hal yang lebih baik dari pemujaan, cinta dan persaksian bersama, sebagaimana tidak ada hal yang lebih buruk daripada pemujaan, cinta dan persaksian yang dipaksakan. Iman yang sejati menurutnya, adalah yang bergantung pada individualitas dan kebebasan, dan penolakan terhadap keduanya sama artinya dengan menolak arti iman yang sesungguhnya. “tidak ada pemaksaan dalam iman dan cinta”, ini bermakna bahwa tangan-tangan tirani tidak berhak menebar benih-benih keagamaan di ladang hati. Tidak ada dekrit raja atau fatwa nalar yang bisa melahirkan atau memperbanyak iman dan cinta.

Kita mungkin dapat menerima pandangan ini, karena secara jelas, memang telah menggambarkan nilai esensif dari agama. Tapi, bisakah kita menerima kalau Islam, Kristen ataupun Yahudi, hanya dianggap sebagai simbol belaka? Nah, pertanyaan inilah sebetulnya yang perlu kita jawab bersama-sama. Dengan kata lain, bisakah kita menghentikan pertikaian memperebutkan simbol-simbol itu, dan melangkah bersama-sama menuju realitas iman dan cinta yang sesungguhnya,?

Nama agama hanyalah simbol, sedangkan kalbu masyarakat beragama adalah iman dan cinta yang dipilih secara bebas, bukan karena paksaan dan penyesuaian. Nabi-nabi itu dipilih hanya untuk menyampaikan “pesan kasih sayang” Tuhan dalam bentuk wahyu. Mereka diperankan sebagai kekasih oleh Tuhan demi menarik hati orang-orang yang bersih dan bajik. Mukjizat yang diberikan kepada mereka dimaksudkan untuk “menundukkan” musuh-musuh Allah, bukan untuk “menakut-nakuti” hati manusia supaya beriman pada mereka. Jadi, para nabi itu pantas dipuja sebagai nabi dan kekasih, bukan sebagai Tuhan yang lepas dari kodrat kemanusiaannya.

Maka dari itu, eksistensi nama-nama agama sebagai sebuah simbol sangat tidak layak untuk kita pertentangkan, baik melalui ajang konflik ataupun dalam bentuk pemaksaan-pemaksaan lain. Sebab, keimanan dan cinta sebagai esensi dari agama adalah hak bebas yang bisa dipilih sendiri oleh masing-masing individu. Maka, setiap tindakan, apapun bentuknya, yang menghapus kebebasan dari keimanan dan cinta, pencerahan dan dinamisme dari pemahaman agama, adalah tindakan yang justeru membahayakan landasan dan makna masyarakat agama.

Memaksa setiap orang supaya beriman secara palsu; melumpuhkan pemikiran dengan indoktrinasi, propaganda dan intimidasi, menutup gerbang kritik, revisi dan modifikasi, agar semua orang tunduk patuh pada satu ideologi tunggal, pastilah tidak akan menciptakan masyarakat yang religius. Melainkan, ini justru akan mencetak masyarakat monolitik yang terteror, lumpuh, pasrah dan hipokrit. Bentuk masyarakat agama yang demikian bukanlah bentuk masyarakat yang dikehendaki Tuhan dan para nabi-Nya.

Dan sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan Jalaluddin Ar-Rumi, seorang pujangga sufi yang tidak pernah lelah berkelana demi keagungan iman dan cinta yang dipujanya. Ia pernah berkata kepada para pengikutnya, “Sambutlah iman dan cinta, pemusnah kemusyrikan yang luar biasa. Berikanlah air pada yang haus, berilah makan pada yang lapar dan bersujudlah atasnama iman dan cintamu demi Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dari rasa cinta-Nya. Ingatlah, bahwa kesombongan dan berulah munafik atas nama-Nya tidak akan pernah menolongmu menuju kemenangan dan perdamaian sejati.” Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amien Allohumma Amien…

Kamis, 19 November 2009

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN

Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)

Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN

Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)

Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN

Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)

Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

Kasih Sayang Dalam Perang

Demikian pula dalam peperangan. Agama Islam tidak lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang boleh dibunuh dan siapa yang tidak.

Suatu hari Rosululloh n berwasiyat kepada pasukan perangnya: "Berperanglah dengan nama Alloh di jalan Alloh! Perangilah orang yang kafir kepada Alloh. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah). Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang Arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghonimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam) maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Alloh untuk menghadapi mereka kemudian perangilah. Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah ingin meminta jaminan Alloh dan Rosul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Alloh. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Alloh, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Alloh pada mereka atau tidak." (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta'mirul Imam no. 1731)

Rosululloh n berkata kepada salah satu shahabatnya dalam suatu peperangan: "Berangkatlah engkau menemui Kholid dan katakan kepadanya: Sesungguhnya Rosululloh melarang engkau untuk membunuh wanita, anak-anak, dan pekerja" (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat-riwayat ini terdapat kandungan akhlak yang sangat santun, damai, dan berkasih sayang. Hal ini sudah diucapkan oleh Rosululloh n ribuan tahun yang lalu yang pada hari ini para mujahidin di seluruh dunia masih mempertahankannya, mereka berperang dengan akhlak yang sangat tinggi, hanya saja rekayasa media yang dikuasai orang kafir digunakan untuk membunuh karakter akhlak Islami ini berhasil membuat kaum muslimin bingung untuk memilih siapa mujahid dan siapa teroris.