THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 26 November 2009

"ISLAM" hakikat Iman & Cinta


KETIKA ada seorang pemeluk agama bertanya tentntaang hakikiat agamanya. Jawaban bijak yang mungkin paling sederhana adalah iman dan cinta. Begitu juga, apabila yang bertanya itu kebetulan seorang muslim, dengan bertanya; apakah hakikat Islam itu sesungguhnya,? Maka, jawaban paling bijaknya pun tetap sama, yaitu iman dan cinta. Ini persis dalam semboyan yang diulang-ulang, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil-alamin.

Lalu, apa artinya jawaban panjang lebar dan berbelit-belit tentang akidah (teologi), jurisprudensi Islam (fiqh) dan turats (tradisi), serta hal-hal lain yang terkait dengan Islam? Menurut saya, semua itu adalah instrumen formal yang serta-merta akan menyetai pola keimanan dan rasa cinta para pemeluknya. Segudang teori agama, beragam keping buda ya dan setumpuk peradaban Islam, tidak lain hanyalah bentuk nyata (implementasi) dari kesatuan iman dan cinta tersebut.

Artinya, apapun yang telah dan akan diaktualisasikan oleh pemeluk Islam dalam bentuk kongkret, bisa dipahami sebagai ungkapan logis dari keimanan dan rasa cinta mereka. Boleh-boleh saja mereka mengungkapkan rasa cinta dan keimanannya itu dalam bentuk disiplin-disiplin fisik (ritual-ritual), dengan membangun komunitas-komunitas budaya, tradisi pemikiran, atau mendirikan sebuah peradaban yang tinggi dan hebat sekaligus. Bahkan, tidak ada larangan apapun yang mengharuskan mereka agar membatasi konstruksi pemahamannya dalam realitas iman dan cinta.

Lalu, mengapa terjadinya konflik-konflik internal antar golongan beragama, ataupun perang hebat antar pemeluk agama? Dalam konteks keberagamaan, bisa kita pahami sebagai bentuk klimaks dari perebutan simbol saja. Karena, boleh disepakati atau tidak, realitas simbol merupakan bagian kuat dari watak dasariyah manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa “manusia itu adalah makhluk yang simbolik” (animal symbolicum).

Dengan simbol manusia mampu membentuk budayanya, mengungkapkan rasa melalui bentuk-bentuk. Ungkapan simbolis merupakan jalan menuju kebebasan yang berdaya cipta, dan “hidup yang menggunakan lambang-lambang berarti kebebasan sejati”. Demikian menurut Thomas Mann.

Dengan begitu, maka eksistensi nama-nama dari seluruh agama, sama artinya dengan simbol-simbol yang berdaya cipta tinggi. Ada yang namaya agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan seterusnya. Namun, kalau dari serentetan nama-nama itu, dalam konteks simbol kemudian muncul banyak dikotomi eksistensialis dalam kehidupan para pemeluknya, tentu merupakan hal yang wajar, sesuai dengan watak dasar manusianya yang bersifat simbolik. Bukan karena sifat agamanya.

Tapi, kenapa konflik antarummat beragama masih sering terjadi, apakah karena para pemeluk agama-agama itu tidak mengerti dengan realitas simbol? Jawabannya bisa saja, karena ada beragam citra atau kepentingan-kepentingan terselubung yang digantungkan di balik simbol-simbol itu, sehingga menyebabkan ia terseret kedalam serentetan tindak kekerasan dan penjajahan. Namun, kecenderungan semacam ini tidak akan berlaku di wilayah keimanan, cinta dan pemahaman para pemeluk agama.

Selanjutnya, terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai itu, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama.

Menurutnya, dalam struktur iman itu, antusiasme, cinta dan persaksian tumbuh saling berjalin. Setiap orang berhak untuk memuja, mencinta dan bersaksi dalam kesendiriannya. Dengan begitu, iman sangatlah bermusuhan dengan yang namanya kemusyrikan. Baginya, tidak ada hal yang lebih baik dari pemujaan, cinta dan persaksian bersama, sebagaimana tidak ada hal yang lebih buruk daripada pemujaan, cinta dan persaksian yang dipaksakan. Iman yang sejati menurutnya, adalah yang bergantung pada individualitas dan kebebasan, dan penolakan terhadap keduanya sama artinya dengan menolak arti iman yang sesungguhnya. “tidak ada pemaksaan dalam iman dan cinta”, ini bermakna bahwa tangan-tangan tirani tidak berhak menebar benih-benih keagamaan di ladang hati. Tidak ada dekrit raja atau fatwa nalar yang bisa melahirkan atau memperbanyak iman dan cinta.

Kita mungkin dapat menerima pandangan ini, karena secara jelas, memang telah menggambarkan nilai esensif dari agama. Tapi, bisakah kita menerima kalau Islam, Kristen ataupun Yahudi, hanya dianggap sebagai simbol belaka? Nah, pertanyaan inilah sebetulnya yang perlu kita jawab bersama-sama. Dengan kata lain, bisakah kita menghentikan pertikaian memperebutkan simbol-simbol itu, dan melangkah bersama-sama menuju realitas iman dan cinta yang sesungguhnya,?

Nama agama hanyalah simbol, sedangkan kalbu masyarakat beragama adalah iman dan cinta yang dipilih secara bebas, bukan karena paksaan dan penyesuaian. Nabi-nabi itu dipilih hanya untuk menyampaikan “pesan kasih sayang” Tuhan dalam bentuk wahyu. Mereka diperankan sebagai kekasih oleh Tuhan demi menarik hati orang-orang yang bersih dan bajik. Mukjizat yang diberikan kepada mereka dimaksudkan untuk “menundukkan” musuh-musuh Allah, bukan untuk “menakut-nakuti” hati manusia supaya beriman pada mereka. Jadi, para nabi itu pantas dipuja sebagai nabi dan kekasih, bukan sebagai Tuhan yang lepas dari kodrat kemanusiaannya.

Maka dari itu, eksistensi nama-nama agama sebagai sebuah simbol sangat tidak layak untuk kita pertentangkan, baik melalui ajang konflik ataupun dalam bentuk pemaksaan-pemaksaan lain. Sebab, keimanan dan cinta sebagai esensi dari agama adalah hak bebas yang bisa dipilih sendiri oleh masing-masing individu. Maka, setiap tindakan, apapun bentuknya, yang menghapus kebebasan dari keimanan dan cinta, pencerahan dan dinamisme dari pemahaman agama, adalah tindakan yang justeru membahayakan landasan dan makna masyarakat agama.

Memaksa setiap orang supaya beriman secara palsu; melumpuhkan pemikiran dengan indoktrinasi, propaganda dan intimidasi, menutup gerbang kritik, revisi dan modifikasi, agar semua orang tunduk patuh pada satu ideologi tunggal, pastilah tidak akan menciptakan masyarakat yang religius. Melainkan, ini justru akan mencetak masyarakat monolitik yang terteror, lumpuh, pasrah dan hipokrit. Bentuk masyarakat agama yang demikian bukanlah bentuk masyarakat yang dikehendaki Tuhan dan para nabi-Nya.

Dan sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan Jalaluddin Ar-Rumi, seorang pujangga sufi yang tidak pernah lelah berkelana demi keagungan iman dan cinta yang dipujanya. Ia pernah berkata kepada para pengikutnya, “Sambutlah iman dan cinta, pemusnah kemusyrikan yang luar biasa. Berikanlah air pada yang haus, berilah makan pada yang lapar dan bersujudlah atasnama iman dan cintamu demi Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dari rasa cinta-Nya. Ingatlah, bahwa kesombongan dan berulah munafik atas nama-Nya tidak akan pernah menolongmu menuju kemenangan dan perdamaian sejati.” Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amien Allohumma Amien…

Kamis, 19 November 2009

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN

Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)

Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN

Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)

Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

SHALAT, POTENSI YANG TERABAIKAN

Shalat adalah sarana yang paling efektif untuk menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Masalahnya, shalat yang dilaksanakan oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagaimana mestinya. Orang yang sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.

Itulah barangkali yang menyebabkan orang tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yang harus ditunaikan saja. Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumentasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akan melirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.

Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yang sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman:

"Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku."(Qs. Thaha: 14) "Ketahuilah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Qs. Ar-Ra'du: 28)

Hati bisa tenang bila mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat di atas, perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.

Mendirikan shalat beda dengan sekadar melaksanakan. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriuasan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekadar melaksanakan, tak perlu susah payah, cukup santai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah "aqim" yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.

Kenyataannya tidak demikian, banyak di antara kaum muslimin yang melaksanakan shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur lepas dari ancaman siksa, dan menunggu pahala. Cukup. Andai ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa bagian terbesar ummat Islam adalah golongan ini.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ulama yang menganggap perlu menjelaskannya kepad ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah seputar kaifiyatush-Shalat, yang tidak berkutat dari masalah fiqh. Lebih parah lagi bila mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untuk mencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarak perbedaan, mempertajam pertentangan, dan merusak kesatuan.

Kenapa kajian kita terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?

Sayang, pelajaran di sekolah tentang shalat tidak lebih dari pengulangan, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang semestinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.

Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tradisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dalam hal ini Rasulullah menjawab melalui sabdanya: "Berapa banyak orang yang melaksanakan shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja." (HR. Ibnu Majah)

Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun juga. Sekecil apapun gerakan itu harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekadar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika beliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-surat tertentu, atau pada bacaan-bacaanm tertentu, apakah kita juga sudah demikian?

Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakan diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus khusyu'.

Khusyu' adalah satu tingkat kosentrasi yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan seterusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar untuk konsentrasi mengingat Allah.

Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanpa khusyu'? Apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa yang lebih penting dan utama dalam shalat itu bukan gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakan jika memang tidak mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.

Seorang yang tidak mampu berdiri karena sakit, bisa mengganti gerakan berdirinya dengan hanya duduk, mengganti gerakan ruku'nya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan berbaring dan sebagainya.

Yang tidak bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?

Itulah sebabnya Allah memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas, "Maka celakalah bagi orang-orang yhang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya." (Qs. al-Maa'uun: 4-5)

Jadi ketenangan batin, apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta merta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidak bakal mendapatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.

Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah sendiri berjanji, "Sungguh telah beruntung orang-orang beriman. Yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (Qs. Al-Mu'minuun: 1-2)

Rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang itens komunikasinya dengan Allah --melalui shalat sebagai sarananya-- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagai sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.

Jika kita sudah dekat dengan sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu saja juga kuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak salah bila redaksi adzan itu didahului dengan ajakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan ajakan untuk menang (hayya alalfalaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.

Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kita secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti membantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya?

Alangkah hebatnya potensi ibadah, khususnya shalat ini. Sayang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajaran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagai satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.

Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yang dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.

Terus terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak memiliki arti lagi dalam kehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang menimpa. Bukan bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tidak mau lagi melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa' dan munkar, dengan cara yang tidak diajarkan agama.

Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, lalu di mana letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?

"Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah." (HR. Ahmad dan Turmudzi)

Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kita lalai dalam menyodorkan shalat sebagai alternatif terbaik untuk menenteramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

Kasih Sayang Dalam Perang

Demikian pula dalam peperangan. Agama Islam tidak lepas dari sifatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan peraturan-peraturan dan hukum-hukum perang. Siapa yang boleh dibunuh dan siapa yang tidak.

Suatu hari Rosululloh n berwasiyat kepada pasukan perangnya: "Berperanglah dengan nama Alloh di jalan Alloh! Perangilah orang yang kafir kepada Alloh. Berperanglah tapi jangan mencuri rampasan perang, jangan ingkar janji, jangan merusak jasad musuh, jangan membunuh anak-anak. Jika kalian menemui musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah mereka kepada tiga perkara. Jika mereka menerima salah satunya, maka terimalah dan berhentilah (tidakmemerangi): Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka mengikuti ajakanmu, maka terimalah dari mereka dan tahanlah peperangan. Ajaklah kepada Islam. Kalau mereka menyambut ajakanmu, maka terimalah dan ajaklah untuk pindah (hijrah) dari desa mereka ke tempat muhajirin (Madinah). Kalau mereka menolak, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa mereka dianggap sebagai orang-orang Arab gunung (nomaden) yang Muslim. Tidak ada bagi mereka bagian ghonimah (pampasan perang) sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Kalau mereka menolak (untuk masuk Islam) maka mintalah dari mereka untuk membayar jizyah (upeti) (sebagai orang-orang kafir yang dilindungi). Kalau mereka menolak, maka minta tolonglah kepada Alloh untuk menghadapi mereka kemudian perangilah. Jika engkau mengepung penduduk suatu benteng, kemudian mereka menyerah ingin meminta jaminan Alloh dan Rosul-Nya, maka janganlah kau lakukan. Tetapi jadikanlah untuk mereka jaminanmu, karena jika kalian melanggar jaminan-jaminan kalian itu lebih ringan daripada kalian menyelisihi jaminan Alloh. Dan jika mereka menginginkan engkau untuk mendudukkan mereka di atas hukum Alloh, maka jangan kau lakukan. Tetapi dudukkanlah mereka di atas hukummu karena engkau tidak tahu apakah engkau menepati hukum Alloh pada mereka atau tidak." (HR. Muslim dalam Kitabul Jihad bab Ta'mirul Imam no. 1731)

Rosululloh n berkata kepada salah satu shahabatnya dalam suatu peperangan: "Berangkatlah engkau menemui Kholid dan katakan kepadanya: Sesungguhnya Rosululloh melarang engkau untuk membunuh wanita, anak-anak, dan pekerja" (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat-riwayat ini terdapat kandungan akhlak yang sangat santun, damai, dan berkasih sayang. Hal ini sudah diucapkan oleh Rosululloh n ribuan tahun yang lalu yang pada hari ini para mujahidin di seluruh dunia masih mempertahankannya, mereka berperang dengan akhlak yang sangat tinggi, hanya saja rekayasa media yang dikuasai orang kafir digunakan untuk membunuh karakter akhlak Islami ini berhasil membuat kaum muslimin bingung untuk memilih siapa mujahid dan siapa teroris.

Agama Islam Sebagai Rahmat Bagi Seluruh Alam

Islam dengan segala macam hukumnya telah menjadi momok yang menakutkan, terutama sejak dipaksakannya rekayasa sejarah yang mendiskreditkan Islam dan gerakan Islam. Selama ini digambarkan betapa seram dan ngerinya hukum Islam jika diterapkan dan betapa sadisnya hukum rajam dan potong tangan dan seterusnya.

Akhirnya Islampobia menjalar di masyarakat, bahkan orang-orang yang berstatus muslim pun takut kalau hukum Islam diterapkan di Indonesia Raya ini. Padahal kalau mereka mau melihat Islam dari sumbernya yang asli yaitu Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman generasi-generasi terbaik yang dipuji Alloh dan Rosul-Nya, maka mereka akan mendapati agama Islam sebagai agama rahmat dan kasih sayang untuk seluruh alam.

Suatu saat malaikat Jibril datang kepada Nabi n ketika beliau terusir dari kaumnya dan dilempari dengan batu di Thoif hingga kakinya berdarah. Lantas beliau bermunajat dan berdoa kepada Alloh kemudian datanglah malaikat seraya berkata: "Aku diutus Alloh untuk mentaati perintah-Mu. Jika engkau menginginkan agar aku menimpakan gunung ini kepada mereka aku akan laksanakan." Maka Rosululloh n bersabda: "Ya Alloh, berilah hidayah pada mereka karena sesungguhnya mereka belum mengetahui." Melihat Rosululloh n berdoa seperti itu, Jibril mengatakan: "Maha benar Alloh yang menamakanmu ra'ufur rahim." (Nurul Yaqin hal. 56).

Inilah bukti kasih sayang beliau kepada seluruh manusia. Jika beliau diberi pilihan doa yang maqbul terhadap kaumnya apakah dilaknat dan diadzab ataukah diberi hidayah, tentu beliau memilih berdoa agar Alloh memberikan hidayah.

Suatu hari Rosululloh n diminta oleh seseorang: "Wahai Rosululloh, doakanlah kejelekan bagi musyrikin." Maka Rosululloh n menjawab:"Aku tidak diutus sebagai tukang laknat, melainkan aku diutus sebagai rahmat." (HR. Muslim).